10.15.2010

Kisah Secangkir Kopi P5 Moanemani Michael Wisnu, Pr dari Jakarta untuk Papua

“Kopi bukan sekedar biji,” gurau Romi, panggilan akrab Rm.Michael, di suatu pagi di Bomomani, pusat misi domestik KAJ di Mapia Keuskupan Timika. Mengawali karya di daerah misi, pastor yang tidak biasa sarapan pagi ini tetap duduk di meja makan untuk menonton rekan komunitasnya makan pagi. Seringkali sarapan pagi itu adalah masakan buah kreasinya, yang memang terkenal jago masak sejak masih frater. Romi pernah menasehati adiknya, “kalau bisa masak maka kamu bisa bertahan dalam situasi sulit!”

Situasi sulit itu
Pastor Michael Wisnu Agung Pribadi datang ke daerah misi Bomomani sebagai jawaban Keuskupan Agung Jakarta atas permintaan resmi tertulis Mgr.John Philip Saklil, Uskup Timika. “Kardinal membacakan surat Mgr.John di depan saya, lalu beliau bertanya apakah saya mau pergi ke Timika mewakili beliau? Saya terkenang moto tahbisan saya, ‘inilah aku utuslah aku’ maka saya serta merta menjawab SIAP Kardinal,” kenang Romi, putra dari pasangan perwira tinggi Angkatan Laut ini. Maka berangkatlah Romi ke Papua awal Maret 2010.

Kesulitan pertama yang langsung dirasakannya adalah soal jaringan kerja dan bunyi misi KAJ di Keuskupan Timika, Papua. “Silahkan hubungi romo Fe terkait dengan jaringan dan misi KAJ!” tegas Romi menirukan pesan Kardinal kepadanya. “Maka saya merasa tidak ada beban mempersiapkan segala sesuatu yang dikirim romo Fe via sms dan facebook.” Jaringan misi KAJ terutama dibangun di tanah Papua sendiri, mulai dari Nabire yang menjadi sumber pasokan pedalaman hingga mencakup Biak dan Jayapura sebagai penyokong sekunder. “Tentu saja bantuan dari Jakarta penting namun untuk membangun sebuah misi yang mandiri perlu memberdayakan potensi umat Gereja lokal yaitu umat Keuskupan Timika. Terutama karena perlu dibangun sistem kerja di antara umat untuk membentuk jaringan pasar antara umat pedalaman dengan umat di kota. Tapi di Timika sendiri belum ada jaringan yang banyak membantu karena mahalnya biaya transport Timika – Bomomani yang harus ditempuh dengan pesawat, baru-baru ini memang ada pengiriman kopi ke Timika tapi belum rutin.” Romo Fe menerangkan.

Masalah kedua, Romi gampang ‘mabuk darat’ akhirnya dia biasa mengemudikan sendiri mobil operasional double gardan menerjang medan off road trans Nabire – Enarotali. Menurut rumor yang beredar, hanya imam dari Jakarta saja yang pernah mengendarai mobil sendiri menuju pedalaman. Dari sini orang bisa belajar secara langsung pesan Paulus, ‘sebab jika aku lemah maka aku kuat’ (IIKor12:10). Segala kelemahan-kelemahan pribadi diatasi Romi dengan agere contra (melawan kehendak) yakni melakukan apa yang justru tidak disukai atau diminati. Misalnya, terkait dengan kebiasaan bersih sejak masa kecilnya dari keluarga yang cukup berada, Romi sebenarnya tidak bisa makan ‘bakar batu’masakan tradisional mengolah babi dikukus dalam batu panas yang dihampar di atas daun pisang. Namun Romi tetap menghormati budaya setempat dengan mencicip sepotong ubi atau daging. Maka tidak heran, walaupun baru tiga bulan di daerah misi, Romi sudah kenal dan mencicipi sayuran dan aneka masakan tradisional. “Suster tidak tahu hatu? rasanya seperti asparagus lho,” candanya menggoda seorang suster yang membanggakan diri sudah berkarya enam tahun di pedalaman Papua.

Cuaca dingin dan lembab berhujan memberi tantangan lain. Romi terbiasa mandi setiap hari dan tidak mau ikut ‘gaya pater Fe’ yang hanya mandi dua kali seminggu. Air dingin, yang biasa menjadi alasan tidak mandi bukanlah penghambat baginya, walaupun pemanas air sering tidak berfungsi baik karena listrik tenaga air yang dibangun misi beberapa kali rusak , Romi tidak menyerah dan memasak air untuk mandi. Mengatasi dinginnya udara Bomomani, Romi punya kiat sendiri: bekerja sepanjang hari membereskan pastoran, asrama dan kebun-kebun misi. Dengan hobi memelihara tanaman hias, khususnya anggrek; Romi menyusun jadwal naik gunung berburu anggrek sekaligus mengunjungi rumah-rumah umat, yang biasanya selalu memberi anggrek yang sudah mereka tangkar. Dalam tiga bulan, sudah dua puluhan species anggrek yang dimiliki Romi, salah satunya anggrek hitam yang sangat langka. Demikian Romi mengajarkan cara beradaptasi di daerah misi menggunakan akal budi dan kehendak yang kuat.

Menang dalam ekonomi modern
Misi domestik KAJ di Bomomani adalah memperkenalkan pastoral modern khususnya mempersiapkan umat berjuang dalam ekonomi modern. Dalam pastoral modern, sejalan juga dengan program komunitas basis Keuskupan Timika. Bedanya, di Bomomani sistem kring yang sudah ada tidak dirubah tetapi ditambah dengan keberadaan kelompok-kelompok kategorial. Untuk bidang liturgi, kelompok koor, misdinar dan lektor diberdayakan sedemikian agar mampu mandiri dan membangun liturgi yang baik sesuai dengan TPE baru. Juga digalakkan kelompok doa rosario dan devosi pada Sakramen Mahakudus. Kedua hal ini sangat baru bagi masyarakat pedalaman namun cukup disambut dengan antusias. Dalam hal liturgi, bisa dipastikan umat Bomomani sudah cukup sejajar dengan paroki-paroki di Jakarta, baik koor, misdinar maupun tingkah liturginya.

Sementara dalam mempersiapkan umat masuk dalam ekonomi modern, Misi Domestik cukup mengalami jatuh bangun berkali-kali. Karya ini sudah dikerjakan sejak awal misi domestik di akhir tahun 2004 (11/9/2004). Akhirnya dengan konsentrasi di bidang pertanian, misi domestik KAJ telah mengirim sejumlah pemuda untuk belajar tekhnik pertanian organik di KPTT, Salatiga yang dikelola oleh Serikat Yesus. Saat Romi ditugaskan berkarya di Bomomani, dia sudah merencanakan budi daya jamur dan secara serius mengikuti program pelatihan bersama Profesor Astrid di Lembang, Bandung. Tiba di Bomomani, Romi langsung pergi naik gunung dan masuk ke hutan-hutan mencari aneka jamur untuk diteliti. Sedikitnya ada lima jenis jamur yang bisa dimakan karena sudah biasa dikumpulkan oleh umat. “Saya akan coba kembangkan dua jenis ‘nai bemu’ saja karena cita rasanya cukup baik, hampir seperti hyoko lokal,” Romi berkata sambil panen jamur huge yang rupanya seperti hyoko kecil. Dengan membudi dayakan jamur menggunakan media log kayu lapuk yang banyak terdapat di hutan, Romi yakin akan ada penghasilan tambahan untuk rumah tangga.

Hampir bertepatan dengan kedatangan Romi, Bp. Kornel Gartner aktifis dan spesialis kopi dari AMARTA, sebuah LSM yang disponsori oleh US AID, datang melirik dan menetapkan niatnya untuk membantu umat pedalaman mengembangkan penanaman kopi. Perkebunan kopi di wilayah ini dulu dirintis oleh para misionaris Fransiskan, namun semenjak 8 tahun lalu berangsur-angsur pudar kejayaannya karena para petani tidak bisa menjual hasil panen kopi dengan harga yang menarik. Sambil mendata para petani dan melakukan pembelian kopi dengan harga yang menarik, misi domestik dengan bantuan tenaga ahli dari AMARTA seperti Bp. Kornel Gartner dan Hendra Tato, memberi pelatihan kepada petani membuat kopi bubuk untuk memenuhi kebutuhan sendiri ketimbang membeli di kios. Usaha ini berbuah baik, kini para petani sudah mengurus kembali kebun mereka. Jenis kopi yang istimewa, Arabica Typica Yemeni membuat harga penjualan juga baik sebab varietas asli ini sudah langka keberadaannya. Berlatar belakang kemampuan manajemen yang baik lantaran pernah menjadi manajer Bank Dagang Nasional Indonesia, Romi bersama seorang relawan andalan misi domestik KAJ, Sdr. Wahyu akan membangun sistem ekonomi mikro di kalangan petani kopi mulai dari perkebunan hingga industri rumah tangga yang langsung mengembangkan kesejahteraan petani.

Untuk mengembangkan kopi di Bomomani, Romi tidak segan masuk lumpur dan menyeberangi sungai yang membasahi tubuh sampai ke pinggang. Sebab hanya dengan cara itu, umat mengerti bahwa perkebunan kopi mereka sangat berharga dan penting. Lecet di telapak tangan karena memberi contoh membersihkan rumput, membuat piringan tempat menaruh pupuk dan menggunting ranting tak berguna adalah hal biasa tiap kali Romi masuk ke kebun umat. Pasca panen dan menjemur kopi, keringat masih harus berpeluh, mengamati dengan seksama kematangan biji kopi dan masih lagi lengan menjadi pegal menumbuk kopi dengan lesung atau menggilingnya dengan penggiling tangan. Kerja tiga bulan pertama Romi tidak sia-sia, karena kini umat sudah mulai bergerak melakukan penanaman lahan-lahan kosong menjadi perkebunan kopi.

Kembali ke cangkir kopi
Romi masih akan terus berkarya untuk tiga tahun ke depan. Pada saat itu, kemungkinan besar ratusan pohon kopi, yang kini baru saja ditanam, di kebun-kebun milik umat akan mulai berbuah. Dan kopi memang bukan sekedar biji saja, ada aneka kerja dan pemikiran di dalamnya, ada aneka keterlibatan orang-orang, termasuk 49 rasa dalam sehirup kopi yang masih harus dipelajari Romi yang sebenarnya tidak suka minum kopi.

Secangkir kopi di Bomomani juga sebuah keramahan dari pastoran yang menyediakan minuman hangat ini bagi setiap katekis dan tokoh umat datang bertamu. “Supaya mereka tidak segan datang, apalagi secangkir kopi tidak seberapa jika dibandingkan keramahan mereka tiap kali kami kunjungi kampung mereka,” ujar Romi yang memang selalu siap juga dengan kue-kue kecil buatan sendiri sebagai teman minum kopi. Karya misi bukan sekedar bergerak di dunia rohani seputar altar, tapi membawa altar ke dalam hidup sehari-hari umat sebagai tungku yang biasa ada di rumah tradisional mereka.

Jika selama tiga tahun ini, sistem manajemen yang dibuatnya berhasil, maka misi domestik Bomomani akan sungguh dapat membuktikan bahwa imam-imam Jakarta bukan imam yang tahu jalan-jalan di mall saja melainkan juga tahu menghidupkan sebuah tempat terpencil di pegunungan tengah Papua. Nantinya, semoga Paroki Bomomani dapat diharapkan menjadi sebuah laboratorium kerja bagi imam-imam Jakarta agar sungguh mandiri, misioner, berdaya pikat dan berdaya tahan. Karena setiap kali para imam Jakarta minum kopi di sebuah café, mereka ingat bahwa kopi itu bukan sekedar biji melainkan sebuah kehidupan yang bertunas dari ketertinggalan zaman batu namun berkembang dalam dunia modern. [michael.bt]
Bookmark and Share

0 komentar:

Post a Comment